Bagi umat muslim yang berada di Indonesia, Ramadhan terasa begitu kental. Dengan tradisi tarawih berjamaahnya ataupun menu buka puasanya yang khas, seperti kolak pisang. Namun lain halnya dengan kawan-kawan kita yang merantau di negeri seberang.
Di New Zealand misalnya, berpuasa di negeri yang terkenal dengan kiwi-nya ini bisa jadi jauh berbeda dengan yang kita alami di Indonesia. Lantas bagaimana kisah berpuasa di negeri yang populer karena film Hobbit dan Lord of The Ring ini?
Cerita Mahasiswa Indonesia Berpuasa di New Zealand
Desy Caesary, seorang mahasiswi muslim asal Bogor menceritakan pengalamannya kepada Republika. Baginya, menjadi Muslim di New Zealand itu susah-susah gampang. “Susah karena seperti halnya di negara barat lainnya, Muslim New Zealand tetap lah minoritas. Minoritas berarti keterbatasan dalam beraktivitas ibadah laiknya di negeri mayoritas muslim,” ujar perempuan lulusan ITB ini.
Ia memberi contoh, agak susah mencari masjid dengan lokasi yang relatif dekat ataupun sekedar mencari masjid untuk berburu takjil. Untungnya di Auckland terdapat komunitas Muslim yang sangat erat tali silaturahminya.
Acara-acara keagamaan sering diadakan. Terlebih di bulan Ramadhan seperti sekarang. Mau takjil seru? Ia kerap mengunjungi masjid di Auckland University of Technology. Menu andalan di sana adalah nasi kebuli. Desy mengaku aroma rempah dari nasi kebuli cukup mengobati “rasa Indonesia” yang ia rindukan.
Keberadaan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Auckland cukup banyak. Bahkan relatif lebih banyak dibanding kota lain di Selandia Baru, mengingat di sini terdapat beberapa kampus ternama yang menjadi tempat menuntut ilmu mahasiswa muslim dari seluruh dunia, khususnya Indonesia.
Ramadhan kali ini jatuh di saat Selandia Baru bersuhu sekitar 10 derajat Celsius setiap harinya. Ya, musim dingin sedang melanda belahan bumi bagian selatan. “Namun syukurlah, puasanya jadi lebih enak. Adem, tidak mudah haus,” timpal Desy.
Ini adalah Ramadhan kedua bagi Desy selama di Selandia Baru, sekaligus menjadi Ramadhan terakhirnya sebagai mahasiswa master di University of Auckland. Ia menuturkan komunitas muslim di Auckland bernama HUMIA (Himpunan Umat Muslim Indonesia-Auckland).
“Justru saya paling semangat kalau ada acara HUMIA. Pasti ada masakan Indonesia dan tentu yang terpenting adalah kesempatan mengistirahatkan lidah dari bicara bahasa Inggris terus-terusan,” tuturnya.
Sumber: Republika.co.id